Sepulang dari panti asuhan satu keluarga, begitu melelahkan.
Rumah kontrakan yang tidak layak huni bagi seorang manusia berpenghasilan di atas
10 juta, selalu jadi tempat istirahat yang menenteramkan.
Sekalipun langit-langit
lapuk, talang kadang bocor, kamar mandi tak berkeramik, dan sedikit ada bau lembab, rumah itu seperti surga yang
selalu membawa tenang di saat-saat waktu istirahat tiba.
Waktu pulang dari panti asuhan, hampir larut malam. Sebelum tidur,
iseng-iseng nonton ceramah seorang Pendeta dari salah satu acara televisi
swasta lokal. Sengaja saya nonton ingin tahu bagimana logika-logika berpikir
yang digunakan agama lain.
Hal yang menarik dari ceramah itu adalah Pak Pendeta berkata,
bahwa keimanan sesorang bukan didapat dari logika (logic), bukan pula dari
penglihatan (seeing), bukan pula dari bukti-bukti (evident). Tapi keimanan di dapat dari iman, istilah Pak
Pendeta adalah faith to faith. Pak Pendeta menegaskan bukan
mengerti lalu beriman, tetapi beriman dulu baru mengerti. Menurut Pak Pendeta inilah metode beriman
yang tidak dimiliki oleh agama lain.
Penulis tidak mau menghakimi apakah pendapat Pak Pendeta itu
benar atau salah. Lagian Pak Pendeta berbeda agama dengan penulis. Yang menggelitik
penulis adalah apakah dalam memperoleh keimanan, kita harus beriman dulu, atau
mengerti dulu?
Ternyata metode yang dianut Pak Pendeta dianut juga oleh kawan-kawan saya yang muslim di pesantren. Beberapa kawan yang selalu terlibat diskusi bersikukuh bahwa keimanan mendahului pengetahuan. Metode mereka sama dengan Pak Pendeta yaitu faith to faith.
Penulis coba analisis pendapat Pak Pendeta, kenapa Beliau
berpendapat untuk beriman harus beriman dulu bukan mengerti. Kemungkinan besar,
Pak Pendeta sangat menghindarkan ajaran agama yang dianutnya dari pendekatan-pendekatan
ilmiah, melalui logika, dan empiris. Penulis ketahui dari sejarah bahwa ajaran
agama Pak Pendeta sangat bertentangan dengan orang-orang ilmiah. Seperti diceritakan
dalam kasus Copernicus, dan Galileo Galilei.
Sepengetahuan penulis, agama Pak Pendeta juga memiliki kasus
kontroversi tentang konsep ketuhanannya. Konsep ketuhanan dalam agama Pak
Pendeta kadang-kadang sulit dipahami dengan akal (logika). Dalam berbagai acara debat
agama (Ahmed Deedat, Dr. Naik), Pendeta selalu kewalahan menghadapi argumen logis untuk
mempertahankan konsep ketuhanannya. Atas dasar itulah Tuhan Pak Pendeta selalu
berlindung di balik misteri yang dinisbatkan sebagai sifat mutlak Tuhan, yang tidak dimiliki makhluk selain Tuhan. Padahal dimuka bumi ini banyak makhluk-makhluk misterius juga, seperti Alien contohnya.
Untuk itulah keluar metode bahwa keimanan itu di dapat bukan
dari logika, penglihatan, dan bukti-bukti, tapi dari keimanan. Jika metode ini
satu-satunya dalam memperoleh keimanan, kemungkinan bisa terjadi, sekalipun
tidak logis, dan empiris dengan keimanan sesuatu bisa menjadi benar. Begitu kira-kira.
Mohon maaf ini hanya prediksi saja, yang
lebih tahu tentu Pak Pendeta. Setiap orang boleh berpendapat kan, asal tidak
saling menjelekkan.
Bagaimana dengan pandangan dari agama penulis? Dari sudut
pandang agama penulis, metode untuk beriman harus beriman dulu, atau untuk mengerti harus beriman dulu, kurang
sependapat. Sebab jika metode ini dimutlakkan, akan terjadi indoktrinasi membabi buta, yaitu
membenarkan sesuatu sekalipun bertentangan dengan logika. Padahal akal, logika
adalah perantara manusia untuk memahami siapa Tuhannya.
Jika memahami asal-usulnya turunnya kitab suci Al-Qur’an,
Nabi Muhammad saw menerima wahyu pertama dari Allah di Gua Hira adalah kata
Iqra (bacalah). “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam (logika). (Al-‘Alaq:1-4).
Jika dicermati mengapa untuk pertama kalinya Tuhan tidak
memerintahkan manusia (Nabi Muhammad saw) berimanlah, bertakwalah, atau
berserah dirilah? Sangat mungkin perintah membaca ini adalah perintah awal dari
Tuhan yang harus dilakukan manusia, jika manusia ingin mencapai derajat beriman. Dapat juga berarti, untuk mendapatkan dan
meningkatkan keimanan, Tuhan mewajibkan manusia membuktikan firman-firman Tuhan
dengan pikiran (logika), dan membuktikannya.
Sebagaimana kita ketahui dari wahyu Al-Qur’an, bagaimana
proses pencarian Tuhan yang dilakukan Nabi Ibrahim. Diberitakan Nabi Ibrahim
melakukan penalaran (berlogika), dan meminta pembuktian keberadaan Tuhan kepada
Tuhan, untuk memantapkan keimanannya. Nabi Ibrahim memang sempat ditegur Tuhan
dalam bentuk pertanyaan,” apakah kamu belum yakin dengan keberadaan Ku?” Dan
setelah mendengar jawaban Nabi Ibrahim, ingin memantapkan keimanannya, Tuhan
tidak menyuruh Nabi Ibrahim untuk beriman demi keimanan. Tapi Tuhan menjawab
keinginan Nabi Ibrahim dengan menyuruh menyembelih burung dan setelah itu Tuhan
membuktikan kebenarannya dengan menghidupkan kembali burung yang telah disembelih
Nabi Ibrahim. Tunduklah Nabi Ibrahim dalam keimanan kepada Tuhan setelah itu.
Jadi pendapat penulis, di dalam agama yang penulis anut,
untuk beriman seseorang harus mengerti dulu, sebab tanpa pengertian terlebih dahulu,
kadang-kadang manusia sering merasa telah beriman dengan benar padahal sangat
jauh dari kebenaran. Tuhan tidak takut gara-gara berlogika, dan ingin
membuktikan Tuhan, manusia jadi tidak beriman. Sebab Tuhan sendirilah yang
menciptakan logika untuk manusia.
Saya sependapat dengan Hassan Hanafi (2010:277-278), “Nalar
mendahului keimanan. Memberikan prioritas iman di atas nalar tidak mendatangkan
manfaat dan kemaslahatan. Pemilihan keimanan sebagai kewajiban pertama telah
terjadi pada masa-masa keterbelakangan dan kebekuan, sebagai ajakan tegas
menuju pengabaian terhadap nalar (logika). Ditegaskan oleh Beliau, kewajiban
pertam bukan ber Islam, sebab seorang mukalaf tidak meyakini Islam kecuali
setelah melakukan nalar, perenungan, menggunakan akal dan pikiran. Jika tidak,
maka berarti Islamnya adalah melalui adat dan tradisi. Keislaman menuntut
adanya pengetahuan tentangnya. JADI PENGETAHUAN MENDAHULUI KEISLAMAN.
PENGETAHUAN TIDAK AKAN ADA KECUALI DENGAN NALAR. DENGAN DEMIKIAN NALAR
MENDAHULUI PENGETAHUAN”.
Saya
sependapat dengan KH. Fahmi Basya, bahwa yang pertama kali diciptakan Tuhan
adalah logika. Pendapat ini dapat dipahami jika dihubungkan dengan pendapat
Hassan Hanafi, yang menyimpulkan bahwa nalar mendahului pengetahuan.
Sampai sejauhmana manusia berlogika Tuhan akan meladeninya.
Bahkan Tuhan menyuruh-nyuruh manusia berlogika (berpikir) sebanyak 63 kali. Perintah
yang luar biasa penting. Tuhan sangat menginginkan umatnya menjadi cerdas, dan Tuhan
membenci manusia-manusia bodoh yang tidak pernah menguji dan meningkatkan
keimanannya. Hari esok harus lebih baik
dari hari ini, agar hari depan mu tetap baik.
Sekian pendapat penulis, mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan. Wallahu ‘alam.
Salam sukses
dengan logika Tuhan. Follow me @logika_Tuhan
No comments:
Post a Comment