Suatu hari, saya dihadapkan pada masalah yang sebenarnya
tidak sulit untuk dipecahkan. Pihak pertama merasa tidak bersalah, pihak kedua
merasa tidak bersalah. Kedua belah pihak berposisi tegang mempertahankan
posisinya.
Lalu kedua belah pihak berusaha mengurai urutan masalah
untuk mencari pembenaran, siapa yang salah dan siapa yang benar. Pihak pertama
mengajukan bukti-bukti untuk membenarkan posisinya. Tapi pihak kedua menyangkal
semua bukti dan merasa telah difitnah.
Selanjutnya, pihak kedua mengajukan pihak pertama kehadapan hukum
dengan alasan pencemaran nama baik. Pihak penegak hukum, mengembalikan masalah
untuk diselesaikan secara kekeluargaan.
Sebagai peimpinan saya berinisiatif memanggil semua pihak
untuk bermusyarawarah. Setelah semua hadir, saya dituntut untuk menyelesaikan
masalah dengan kekeluargaan. Saya tidak tahu langkah apa yang harus saya ambil.
Tapi jika dilihat dari urutan kasus, posisi kedua belah pihak sudah dalam
posisi tegang, jadi sangat sulit untuk dipertemukan jika mengurai kembali siapa
yang salah. Alih-alih bukan menyelesaikan masalah, malah akan semakin
memperparah keadaan.
Untuk mengambil keputusan, secara psikologis saya pilah kedewasaan
kedua belah pihak. Dari umur, pihak pertama belum dewasa menurut undang-undang,
dan masih sangat tergantung pada orang lain. Dari pengetahuan pihak pertama
belum memiliki banyak pengetahuan karena tingkat pendidikan lebih rendah dari
pihak pertama. Secara psikologis tingkat kedewasaan seseorang dipengaruhi oleh
luasnya pengetahuan.
Sementara posisi pihak kedua, umur sudah dewasa, tingkat pendidikan sarjana, dan menduduki posisi terhormat, serta punya kedewasaan berpikir dalam menyikapi masalah. Dari kepemilikan pengetahuan, pihak pertama sudah jauh lebih banyak pengetahuan dalam arti dewasa, karena sudah berpendidikan sarjana.
Sementara posisi pihak kedua, umur sudah dewasa, tingkat pendidikan sarjana, dan menduduki posisi terhormat, serta punya kedewasaan berpikir dalam menyikapi masalah. Dari kepemilikan pengetahuan, pihak pertama sudah jauh lebih banyak pengetahuan dalam arti dewasa, karena sudah berpendidikan sarjana.
Atas dasar itu, saya ajak kedua belah pihak untuk berdamai
tanpa harus mengusut siapa yang benar dan siapa yang salah. Karena pihak kedua tidak hadir, sebagai pimpinan saya mengambil posisi mewakili pihak kedua.
Pihak pertama bersikukuh, menuntut bahwa dirinya tidak
bersalah dan minta direhabilitasi nama baiknya dihadapan publik. Kesepakatan
pun dibuat, dengan pernyataan bahwa pihak kedua bersalah, minta maaf, dan pihak pertama mencabut tuntutannya. Konsekuensi selanjutnya, semua orang harus berkumpul
dilapangan untuk terima pengumuman bahwa pihak pertama adalah orang baik dan
tidak bersalah. Saya lakukan semua tuntutan dengan harapan kondisi kembali
dalam keadaan damai.
Namun setelah itu, teman-teman pihak kedua akan mogok karena
tidak terima keputusan yang telah disepakati sebagai bentuk solidaritas karena
merasa tidak bersalah, serta merasa dilecehkan oleh pihak pertama yang masih di
bawah umur (belum dewasa).
Saya mencoba menjelaskan bahwa keputusan itu diambil dengan
pertimbangan, suasana damai lebih penting dari sebuah kemenangan. Alasan
selanjutnya, bersitegang dengan orang-orang yang belum dewasa, menandakan bahwa
kita sama-sama tidak dewasa. Kemudian untuk mendudukkan posisi kita sebagai orang baik, tidak perlu pembenaran dari opini publik. Seandainya kita bersikukuh
ingin jadi orang baik karena opini publik, hal itu cerminan bahwa kita bukan orang baik. Orang-orang baik adalah orang-orang yang teguh dalam kebaikan, tanpa harus
terpengaruh oleh pendapat publik, karena bagi orang-orang baik, kebaikan itu hanya perlu disaksikan oleh Tuhan.
Dilecehkan dan ditinggikannya derajat seseorang bukan karena pendapat
publik, tapi kehendak yang Maha Kuasa Allah swt. Sebagai orang baik, kita selalu
diuji kemampuan untuk bersabar menanti ketentuan Allah swt, bahwa yang baik
akan ditinggikan derajatnya dan yang buruk akan direndahkan kedudukannya.
Ketentuan itu akan terwujud dalam selang beberapa waktu. Saksikan dengan mata
kepala sendiri bahwa ketentuan Allah itu benar adanya.
Terakhir saya jelaskan mengapa damai itu lebih penting dari
kemenangan. Kondisi damai jauh lebih penting karena akan melahirkan kemenangan besar.
Kemenangan bukan penyebab kedamainan, tapi penyebab konflik, karena kemenangan
berada di atas kekalahan orang lain. Maka cenderunglah pada kedamaian karena
dibalik kedamaian ada sukses besar yang dijanjikan Tuhan.
Perhatikan firman Allah swt di bawah ini. Ada logika
berpikir yang harus kita yakini! Lihat cetak tebal dan baca dengan logika.
Tidak ada kebaikan
pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara
manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah,
maka kelak Kami memberi kepadanya pahala
yang besar. (An Nisaa:114)
KEDAMAIAN ADALAH SEBAB, DAN PAHALA BESAR (SUKSES,
KEMENANGAN, KEJAYAAN) ADALAH AKIBATNYA. Apakah benar logikanya seperti itu?
Kita lihat urutan sejarah Nabi Muhammad saw dalam menyebarkan Islam ke seluruh
dunia.
Pada perang pertama (perang Badar), kaum musliman mendapat
kemenangan, setelah itu berganti dengan kekalahan pada perang Uhud. Ini
menunjukkan logika perjalanan hidup bahwa KEMENANGAN melahirkan konflik dan kekalahan.
Setelah kekalahan itu, Nabi Muhammad saw lebih cenderung
menerima perdamaian, sekalipun kedudukan Nabi Muhammad saw dalam perjanjian
damai itu direndahkan (dilecehkan). Dalam perjanjian itu Nabi Muhammad ditulis
bukan sebagai Rasulullah tetapi sebagai Muhammad bin Abdullah. Ini adalah lebih
dari pelecehan, karena merendahkan kedudukan seorang Nabi yang diutus langsung
oleh Allah swt.
Saat itu, sesama kaum muslimin banyak yang tidak bisa menerima
perjanjian damai ini karena dianggap menguntungkan lawan dan kaum muslimin berada
di posisi lemah. Namun semua menyaksikan, setelah penjanjian damai itu,
penyebaran Islam, hubungan diplomasi, kekuatan umat semakin bertambah besar.
Sampai pada akhirnya Mekkah berhasil ditaklukkan oleh kaum muslimin di bawah
pimpinan Rasulullah saw.
Bukankah ini logika dari Tuhan, bahwa kedamaian adalah
penyebab lahirnya kemenangan yang besar bagi kuam muslimin. Salam sukses dengan
logika Tuhan.
Follow me @logika_Tuhan
No comments:
Post a Comment