Bedakan, antara ajaran agama dengan mitos, takhayul,
tradisi, dan kebiasaan. Di masyarakat kita masih bercampur aduk antara ajaran agama dan mitos. Seharusnya
kalau yakin 1000% terhadap aturan agama, harusnya yang mitos, tradisi, takhayul, dan kebiasaan, harus disingkirkan.
Contoh; teman sejawat saya, sudah memasuki usia 30 tahun saat itu masih belum menikah. Ternyata alasan dia menunda pernikahan secara tidak sadar telah bersandar pada mitos. Di dalam keluarga besarnya berlaku mitos, dan secara
turun-temurun tidak boleh melanggar mitos ini. Mereka yang berusia muda, tidak boleh menikah sebelum saudara-saudaranya yang berusia tua menikah. Mitosnya, jika hal itu dilanggar akan terjadi hal-hal yang buruk dalam keluarga yang dibinanya. Hemm..... inilah adalah logika berpikir yang bertentangan dengan ajaran agama, karena nikah dikaitkan dengan sesuatu yang buruk. Wajib dikikis nih.
Kasus lain, dalam satu keluarga ada seorang gadis yang
terpaksa menunda perkawinan karena alasan kemampuan ekonomi. Saya pikir alasan itu karena Dia
belum bekerja, ternyata Dia terganjal oleh uang pelangkah yang jumlahnya besar
dan tidak sanggup dia bayar. Dalam
keluarga gadis tersebut, berlaku denda material. Jika seorang adik menikah
lebih dahulu, maka sang adik harus mengeluarkan uang pelanggkah yang jumlahnya
ditentukan sang kakak. Aturan lainnya, jika tidak sanggup membayar tunai, bisa ngutang, yang
harus dibayarkan pada saat dia sudah menikah.
Ckckck....harus dibasmi ini...
Mitos dan peraturan dalam keluarga di atas, keduanya tidak
diatur dalam ajaran agama. Bahkan mitos di atas bisa dikatakan haram, karena satu keluarga sudah menjadi penghambat bagi keluarga mereka sendiri dalam melaksanakan ibadahnya kepada Allah yaitu menikah. Syarat pernikahan cukup sederhana, jika pasangan
sudah cukup umur (dewasa), punya kemampuan, lebih cepat menikah lebih baik,
untuk menghindari jinah.
Logika berpikir yang aneh dalam keluarga tersebut adalah mereka lebih takut kakak-kakaknya didahului menikah oleh adiknya, dari pada takut anak-anaknya yang sudah siap menikah melakukan jinah.
Logika berpikir yang aneh dalam keluarga tersebut adalah mereka lebih takut kakak-kakaknya didahului menikah oleh adiknya, dari pada takut anak-anaknya yang sudah siap menikah melakukan jinah.
Patut dijadikan contoh adalah, ada seorang ibu berstatus janda, usianya
sekarang sudah mendekati 80 tahun. Sejak usia muda 35 tahun, dia sudah menjadi janda karena
suaminya meninggal. Dia membesarkan anak-anaknya sendirian. Jumlah anak yang
harus dibesarkannya tak tanggung-tanggung berjumlah 10 orang. Dia harus banting tulang menghidupi keluarga
sampai harus menjadi supir truk.
Ada kiat yang Dia kemukakan dalam membesarkan anak-anaknya.
Dia tidak pernah melarang-larang anaknya menikah. Setelah lulus SMA, anak-anaknya
yang mau menikah Dia nikahkan. Dengan catatan pendidikan harus tetap
dilanjutkan, sekalipun sudah menikah. Alhasil kesepuluh anaknya semuanya
berhasil menjadi sarjana. Sekarang anaknya ada yang tinggal di Amerika dan
Austraslia, dengan standar hidup sangat mapan.
Hal menarik dari alasan Dia menikahkan anaknya selulus SMA, karena alasan
ekonomi dan keberkahan. Pertama alasan anak-anak dinikahkan demi pendidikan.
Dengan menikah anak-anaknya bisa hidup mandiri, karena sudah punya tanggung
jawab kepada keluarga. Sang istri yang punya visi sama, bisa saling membantu
untuk membiaya pendidikan suami demi kesejahteraan hidup yang lebih baik setelah berpendidikan tinggi.
Alasan kedua, menikah menjadi solusi terbaik agar
anak-anaknya tidak terhindar dari dosa besar (perjinahan). Dengan menikah
hubungan percintaan menjadi halal, menjadi pembuka rejeki berkah karena menikah adalah ibadah yang sesuai dengan sunah Nabi Muhammad saw. Dengan menikah rejeki jadi ganda, rejeki suami plus rejeki istri.
Menurut beliau, salah jika orang tua melarang-larang,
menghalang-halangi anaknya menikah. Karena hal tersebut justru akan beresiko
menjerumuskan anak-anak ke dalam dosa. Sesungguhnya dosa itu adalah penghalang bagi rejeki anak-anak.
Kesalahan juga terjadi dalam budaya masyarakat kita.
Masyarakat cenderung mendeskreditkan seseorang yang menikah dalam usia muda
dengan alasan belum berpendidikan tinggi atau belum memiliki pekerjaan sebagai ukuran kemapanan dalam membina rumah tangga. Padahal, jika niatnya benar dan ada
kesepahaman bersama antara anak-anak yang akan menikah dengan orang tua, menikah karena menghindar dari dosa besar (jinah),
itu harus cepat dilakukan.
Stigma negatif nikah sebagai penghambat pendidikan juga termasuk salah besar. Niat orang untuk melanjutkan pendidikan tidak harus merasa dibatasi dengan pernikahan. Buktinya, janda 10 anak ini bisa sukses mendidik anak-anaknya, tanpa harus melarang-larang anaknya untuk menikah dalam usia muda. Justru janda 10 anak ini berkesimpulan, bahwa keberhasilan Dia mendidik anak karena anak-anaknya menikah dalam usia muda dan tidak berhenti melanjutkan pendidikan. Dengan menikah muda, rejeki anak-anaknya lebih berkah seperti yang dia nikmati sekarang.
Stigma negatif nikah sebagai penghambat pendidikan juga termasuk salah besar. Niat orang untuk melanjutkan pendidikan tidak harus merasa dibatasi dengan pernikahan. Buktinya, janda 10 anak ini bisa sukses mendidik anak-anaknya, tanpa harus melarang-larang anaknya untuk menikah dalam usia muda. Justru janda 10 anak ini berkesimpulan, bahwa keberhasilan Dia mendidik anak karena anak-anaknya menikah dalam usia muda dan tidak berhenti melanjutkan pendidikan. Dengan menikah muda, rejeki anak-anaknya lebih berkah seperti yang dia nikmati sekarang.
Kesimpulannya, menikah sejak muda sama dengan merencanakan
sukses sejak muda. Logikanya bisa kita pahami dalam hadis berikut; ”Perzinahaan mengakibatkan kemiskinan. (HR.
Al-Baihaqi dan Asysyihaab). Artinya menikah sama dengan penyebab keberkahan
rezeki. Buat apa lagi tunda-tunda pernikahan. Nikah dulu sana......!!!
Salam sukses dengan logika Tuhan. Follow me @logika_Tuhan
No comments:
Post a Comment