Dalam tulisan saya waktu lalu, sudah dijelaskan bahwa
kunci pertama dalam membina rumah tangga sejahtera adalah laki-laki mutlak
menjadi pemimpin (pengambil keputusan) dalam keluarga. Semua harus hormat
tunduk dan patuh. Kepatuhan istri (perempuan) pada suami (laki-laki) bukan
karena laki-lakinya tetapi karena hormat pada ketentuan Tuhan.
Dalam rumah tangga, selain ada istri yang tidak hormat
pada suami, ada juga yang kurang akur dengan orang tua (baik dari pihak suami
atau istri). Mendengar dari obrolan teman-teman, rata-rata keluarganya dibina dengan
petentangan antara istri dengan mertua atau suami dengan mertua. Bahkan ada
juga suami dan istri bersekongkol berseberangan dengan orang tuanya sendiri. Suami
istri kompak dalam keburukan. Hehehe...
Biasanya yang diributkan adalah masalah manajemen keluarga.
Ada yang beralasan orang tuanya terlalu ikut campur urusan keluarga, atau orang
tuanya masih menggantungkan ekonomi kepada keluarganya. Maaf-maaf ya, pernah
denger sih ada mantu yang bersyukur ketika dengar mertuanya meninggal. Astagfirullah....
Sekarang akan saya jelaskan kunci kedua yang berkaitan
erat dengan kunci pertama. Di dalam rumah tangga (istri atau suami) sekalipun
sudah menjadi keluarga otonom, statusnya sebagai anak masih tetap berlaku dan
masih berkewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua. Baik orang tua pihak
laki-laki maupun orang tua pihak perempuan. Karena ketentuannya dalam hadis Nabi Muhammad
saw dijelaskan bahwa mertua termasuk orang tua (baik dari suami maupun istri).
iNI KETENTUAN yang harus diperhatikan setelah kita
berumah tangga adalah; “Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia”. (Al Israa:23)
Ketentuan yang dicetak tebal MERAH di atas, berlaku selama
manusia merasa hidup dan dilahirkan dari rahim seorang ibu, kecuali mereka yang
terlahir dari batu atau tumbuhan. Ketentuan ini tidak batal sekalipun seorang
anak perempuan atau laki-laki sudah menikah. Ketentuan ini juga berlaku
sekalipun orang tua kita sudah meninggal. Ketentuan ini juga berlaku sekalipun kita
sudah menjadi tua renta. Pikirkan...
Persepsi yang sering terjadi, ketika anak (laki-laki atau
perempuan) sudah menikah, ada anggapan bahwa kewajiban anak berbuat baik kepada
ibu bapak sudah terlepas. Secara otomatis persepsi ini melahirkan pembangkangan
seorang anak kepada orang tua, dan jelas itu bertentangan dengan kehendak Tuhan
(Khususnya, Al-Israa:23). Jika rumah tangga dibina dengan penentangan terhadap
ketentuan Tuhan, dijamin akan jauh dari kondisi harmonis dan sejahtera.
Lebih parah lagi, ada keluarga yang menjadikan orang tua
sebagai kambing hitam atau penyebab kegagalan dalam membina rumah tangga. Astagfirullah...manusia
macam apa itu? Sungguh sebuah fitnah besar (dosa besar) dimana orang tua dideskreditkan
sebagai biang kerok kegagalan rumah tangga, padahal seharusnya orang tua dijadikan
sebagai penyebab kelancaran ekonomi keluarga. Mesti ingat bahwa kedudukan orang
tua sangat spesial dihadapan Tuhan, jadi sebagai anak sekalipun sudah menikah,
harus berhati-hati memperlakukan orang tua. Ini prilaku dasar lo, tidak bisa
tidak. Kalau tidak percaya ya silahkan saja buktikan, rumah tangga Anda pasti
tidak akan tentram (awet rajet kaya
orang Sunda mah). Kondisi parahnya
hancur berkeping-keping (perceraian). Ampunn...ya Allah...
Bagaimana strateginya, agar keluarga (suami/istri) bisa
tetap berbakti kepada kedua orang tua. Peran sentralnya ada di pemimpin
keluarga (laki-laki).
Strukturnya begini, dalam keluarga, kunci pertama (sudah
saya jelaskan) keharmonisan dan kesejahteraan ada di ketaatan anggota keluarga (terutama
istri) kepada pemimpin (suami). Umumnya, semua anggota keluarga harus hormat
dan patuh pada ketentuan pemimpin keluarga.
Selanjutnya pemimpin keluarga harus berperan memobilisasi seluruh anggota keluarga (terutama istri),
untuk taat kepada aturan Allah bahwa sebagai anak-anak yang lahir dari orang tua harus berbakti
kepada kedua orang tua (baik orang tua dari pihak istri maupun suami). Seorang pemimpin
harus paling pertama sadar dan menyadarkan istri, beserta anak-anak, bahwa berbakti kepada orang tua bukan atas
dasar mereka telah berjasa membesarkan anak-anaknya, atau balas jasa kepada
kedua orang tua, tetapi sebagai bentuk ketaatan seluruh anggota keluarga kepada ketentuan
Tuhan.
Seorang istri sekalipun memiliki kewajiban untuk berbakti
kepada kedua orang tua yang melahirkannya, dalam tindakannya harus
sepengetahuan pemimpin. Bagi pemimpin yang menganjurkan seluruh anggota
keluarga berbakti kepada kedua orang tua, tentu tidak akan jadi halangan jika
seorang istri ingin berbakti kepada kedua orang tuanya termasuk mertua karena itu kewajiban. Hirarki
seperti ini, tidak bermaksud merendahkan posisi perempuan tetapi sebagai bentuk
tatanan keteraturan yang harus diciptakan dalam sebuah kelompok bernama keluarga.
Rumah tangga yang berujung bangkrut (cerai), sering
diawali dari lemahnya kepemimpinan (suami) dalam menyadarkan seluruh anggota
keluarga untuk berbakti kepada kedua orang tua. Lemahnya kepemimpinan (suami)
melahirkan kepemimpinan (istri), sayangnya kepemimpinan istri sering tidak
berlandaskan pada penegakkan hukum yang sudah ditetapkan Tuhan, tetapi
mengambil kesimpulan sendiri (membalikkan hukum Tuhan), yaitu memposisikan diri
sebagai pemimpin dengan merendahkan posisi suami. Akhirnya kepemimpinan istri menjadi bentuk
pembangkangan terhadap suami, sekaligus terhadap ketentuan Tuhan.
Dominasi istri dalam keluarga adalah hal unik dan tidak
bermasalah, jika dalam dominasinya, istri tetap memposisikan diri sebagai orang
yang tetap hormat pada suami, dan memobilisasi seluruh anggota keluarga untuk
hormat pada pemimpin keluarga dan berbakti kepada kedua orang tua. Dalam dominasinya perempuan hadir bukan untuk
merendahkan suami tetapi untuk mendorong seluruh anggota keluarga agar selalu taat pada ketentuan Tuhan. Sebaliknya,
dominasi istri harus bertujuan mendorong suami tetap jadi pemimpin dan menjadi
teladan seluruh anggota keluarga untuk berbakti kepada kedua orang tua.
Jika dua kunci sukses membina rumah tangga sejahtera terus dipertahankan, maka urusan kesejahteraan keluarga bukan lagi urusan hubungan
antar manusia, tetapi menjadi urusan Tuhan. Keluarga-keluarga yang berusaha
menegakkan aturan-aturan Tuhan akan
dijaga dari kehancuran. Apakah Anda yakin pada kekuasaan Tuhan? Tuhanlah yang mensejahterakan, dan menyempitkan
rejeki dalam keluarga. Silahkan buktikan dengan nalar dan bacalah
pengalaman-pengalaman orang terdahulu. Kami sudah merasakan kesejahteraan itu
datangnya dari Tuhan.
No comments:
Post a Comment