oleh Muhammad Plato
Sekalipun Tuhan sudah memperingatkan
bahwa perceraian adalah hal yang dibenci, tapi pilihan ini sering dipilih.
Mengapa Tuhan benci perceraian, karena perceraian bukan hanya berdampak pada perpecahan
dalam hubungan kekelurgaan. Perpecahan hubungan antara individu dengan individu
(suami-istri), hubungan individu dengan kelompok (suami atau istri dengan
keluarga besar), dan hubungan individu dengan orang tua (anak dengan ayah atau
ibu). Itulah yang ditakutkan dari sebuah perceraian.
Setelah perceraian terjadi dan dibenci
Tuhan, tidak sedikit berlanjut pada putusnya silaturahmi dalam hubungan
kekeluargaan. Terputusnya silaturahmi menjadi pelanggaran terhadap ketentuan
Tuhan bahwa;
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu. (An Nisaa:1)
Membina rumah tangga seperti membangun
sebuah perusahaan. Dibutuhkan pemimpin, manajer, dan aturan-aturan baku agar
perusahaan berkembang menjadi besar dan mensejahterakan. Sebelum membangun perusahaan
dibutuhkan pengetahuan (ilmu), dan perencanaan, demikian juga dalam membangun
rumah tangga.
Ini kunci atau ketentuan baku yang
harus dipahami sebelum bersepakat untuk membangun rumah tangga. Ketentuan ini
tidak akan mengalami perubahan karena sudah jadi ketetapan Tuhan. Ketentuan mendasar
pertama adalah “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (An Nisaa:34)
Banyak tafsir tentang ketetentuan ini.
Tapi pahamilah dulu, dalam setiap kelompok sekecil keluarga pemimpin harus ada.
Ketentuan ini berlaku dalam kajian ilmu sosiologi, yang menjelaskan bahwa
keberadaan pemimpin dalam sebuah kelompok mutlak harus ada. Dalam hadis Nabi
saw, dan pepatah Cina, persis mengemukakan keharusan adanya seorang pemimpin jika seorang manusia bepergian lebih
dari satu orang.
Kemutlakan adanya pemimpin dalam
sebuah kelompok dapat kita pahami dari fungsi seorang pemimpin sebagai
pengambil keputusan. Bisa dibayangkan jika dalam sebuah kelompok tanpa
pemimpin, sudah pasti akan terjadi kekacauan. Setiap orang akan mengambil
keputusan masing-masing. Jika hal ini terjadi visi, misi, tujuan dalam sebuah
kelompok sudah barang tentu tidak bisa disatukan. Akhirnya kehidupan kelompok
akan jauh dari tujuan, dan bisa berakhir dalam perpecahan.
Kita harus bersyukur bahwa Tuhan telah
menentukan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Tidak terbayangkan
bagaimana jadinya jika dalam keluarga tidak ada ketentuan siapa pemimpinnya. Suami,
istri dan anak akan berseteru untuk menentukan siapa pemimpinnya. Mungkin akan
ada pemilu dan kampanye dalam pemilihan pemimpin di keluarga seperti kampanye
pemilihan RT, RW dan Kepala desa. Dengan adanya ketetapan Tuhan, kehidupan keluarga
bisa lebih cepat harmonis karena sudah ada kesepakatan tentang kepemimpinan. Struktur
ini sudah sedemikian rupa diatur Tuhan dalam keluarga, agar sistem berjalan
sebagaimana mestinya.
Hal yang harus dipahami, ketaatan
Istri (perempuan) pada suami (laki-laki) sebagai pemimpin, jangan dibaca
sebagai ketaatan laki-laki kepada kepemimpinannya laki-laki, tapi harus dibaca sebagai
bentuk ketaatan perempuan pada ketentuan Tuhan. Sebagaimana difirmankan Tuhan bahwa
wanita shaleh bukanlah yang taat pada
suami sebagai pemimpin tetapi taat pada ketentuan Allah bahwa suami sebagai
pemimpin yang harus ditaati dan dihormati. Maka pembangkangan kepada kepemimpinan
suami bukan pembangkangan biasa tetapi sebagai pelanggaran terhadap ketentuan
Tuhan.
Juga, ketaatan perempuan terhadap
laki-laki sebagai pemimpin keluarga, tidak bertepuk sebelah tangan. Suami
sebagai pemimpin memiliki tanggung jawab besar, yaitu menjadi pengambil
keputusan, bekerja keras banting tulang untuk mencukupi seluruh kebutuhan
keluarga, dan memperlakukan perempuan dengan penuh kemuliaan jika didapati
perempuan tersebut sudah taat pada ketentuan Tuhan.
Kemutlakkan kepemimpinan laki-laki
dalam rumah tangga, bukan merendahkan perempuan, tapi demi tercapainya tujuan
dan berjalannya fungsi-fungsi kehidupan keluarga. Keretakan dan perpecahan dalam
keluarga, biasanya terjadi jika antara laki-laki dan perempuan saling mendominasi
atas ego-ego (pikiran-pikiran rasional) pribadinya, tanpa mengancu pada
ketentuan Tuhan.
Jika dalam faktanya, ada perempuan
yang mendominasi laki-laki karena itu tanda bahwa kaum perempuan harus banyak
belajar, dan membuktikan tentang kebenaran-kebenaran dibalik logika Tuhan. Dan jika ada laki-laki
yang dinilai kurang layak jadi pemimpin, itu tanda laki-laki harus lebih memperdalam
ilmu tentang kepemimpinan dari Tuhan.
Sudah barang tentu jika ada ajaran
yang ingin menyamakan peran (status) laki-laki dan perempuan perlu diwaspadai. Bukan
karena laki-laki ingin tetap menjadi pemimpin dalam kehidupan keluarga, tapi
ajaran itu berpotensi menentang pada ketentuan Tuhan. Dan Tuhan sudah mengancam
dengan ketentuan bahwa mereka yang hidup dengan cara menentang dari ketentuan
Tuhan akan berakhir dengan perpecahan (perceraian), kehancuran. Semoga Tuhan
mengampuni kita semua.
Salam sukses dengan logika Tuhan.
Follow me @logika_Tuhan
No comments:
Post a Comment