Seumur hidup menganut ajaran agama, baru tahun ini mendapat pencerahan dari seorang dosen di UIN Jakarta, Fahmi Basya. Sebelumnya agama dipelajari dengan mendengarkan ceramah-ceramah ajaran moral yang diulang-ulang dari bunyi hadis dan kitab suci (Al-Qur’an).
Pada akhirnya, banyak penulis saksikan orang-orang berhenti belajar agama ketika sudah menginjak pendidikan menengah, apalagi sesudah menginjakkan kakinya di pendidikan tinggi. Salah satu orang itu tidak lain adalah penulis.
Maka tidak aneh jika di masyarakat ada gejala anomali, dimana dibeberapa negara ditemukan semakin tinggi pendidikan kaum perempuan semakin tinggi terkena resiko penyakit mematikan HIV/AIDS. Dalam bahasa awam semakin tinggi pendidikan kaum perempuan semakin bebas aktivitas seksnya. Ini artinya, semakin tinggi pendidikan tidak berbanding lurus dengan tingkat keimanan seseorang.
Demikian juga dalam kasus korupsi, sempat diutarakan bahwa para pelaku korupsi hampir rata-rata dilakukan oleh mereka yang berpendidikan sarjana. Bahkan perguruan tinggi yang melahirkan sarjana, di kritik pedas sebagai lembaga yang melahirkan generasi korup.
Pertanyaan besarnya, mengapa ajaran-ajaran moral agama yang diceramahkan sejak pendidikan dasar tidak bisa menjadi benteng dikala seseorang sudah menginjak pendidikan tinggi? Seperti penulis rasakan, pelajaran agama yang hanya diajarkan dua jam di sekolah atau dua sks di perguruan tinggi, tidak lagi menarik untuk dipelajari.
Penyebab agama tidak diminati oleh mereka yang berpendidikan menengah dan tinggi adalah bersumber pada dua kata, yaitu ra’yu dan qalam. Kata ra’yu diartikan sebagai pikiran. Kata ra’yu yang diartikan pikiran telah menjauhkan agama dari kaum intelektual. Akibat arti dari satu kata ini, Tuhan dianggap telah melarang orang-orang untuk berpikir dalam memahami agama. Larangan ini sering dikaitkan dengan bunyi hadits yang mengatakan bahwa “siapa menyelesaikan agamanya dengan ra’yu-nya siap-siap masuk neraka”. Karena ra’yu diartikan pikiran, maka matilah dorongan berpikir dalam memahami agama karena takut masuk neraka. Padahal di dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat 63 ayat yang memerintahkan kita untuk berpikir.
Menurut Fahmi Basya (2013), yang tepat arti kata ra’yu bukan pikiran, tapi penglihatan bahkan sebagai penglihatan di dalam mimpi. Fahmi Basya menjelaskan, di dalam beberapa ayat Al-Qur’an kata ra’yu sering diartikan sebagai penglihatan atau pandangan. “Dan tidak Kami jadikan penglihatan yang Kami lihatkan kepadamu itu melainkan ujian untuk manusia”. (Al-Israa:60).
Selanjutnya menurut Fahmi Basya, kata berpikir di dalam Al-Qur’an disebutkan dengan kata yatafakkarun. “sesungguhnya di dalam itu ada ayat-ayat untuk kaum yang berpikir (yatafakarun)”. (Arra’d:3).
Penyebab kedua adalah kata qalam diartikan sebagai perkataan Tuhan, kalam, atau pena. Dari ketiga tafsir tersebut sangat jauh sekali bersentuhan dengan aktivitas berpikir. Menurut Fahmi Basya, kata QALAM bisa ditafsirkan LOGIKA. “yang mengajarkan (manusia) dengan kalam (LOGIKA). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al ‘Alaq:4-5).
Kata logika ditafsirkan dari peristiwa pembunuhan Habil oleh Kabil. “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Kabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayit saudaranya. Berkata Kabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayit saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (Al maa ‘idah:31)
Menurut Fahmi Basya, proses peniruan Kabil cara menguburkan mayit Habil dari sesekor burung gagak adalah Alqalam (cara Allah mengajarkan manusia). Proses PENIRUAN adalah LOGIKA. Dengan logika Allah mengajar kepada manusia apa-apa yang belum diketahuinya. Tanpa logika manusia tidak akan pernah mengetahui ayat-ayat Allah.
Para ulama, ahli fiqih, Mutakalim, tidak mempermasalahkan penggunaan logika dalam memahami ayat-ayat Allah. Hal yang dipermasalahkan adalah menggunakan logika untuk menentang kebenaran wahyu. Seharunya logika digunakan untuk meneliti, menelaah, membuktikan kebenaran-kebenaran wahyu, untuk menemukan hakikat Tuhan sampai menemukan keyakinan tinggi (haqul yakin) kepada kekuasaan kebenaran ayat-ayat Tuhan.
Hanya gara-gara dua kata di atas, berabad-abad manusia mengalami kemunduran kualitas hidup. Selamat sukses dengan logika Tuhan. Follow me @logika_Tuhan.
No comments:
Post a Comment