Manusia keturunan Adam hidup dalam lingkungan yang disebut alam. Dari segi kebahasaan, kata “alam” satu akar dengan “ilmu”, “alamat” dan terkandung juga dalam kata “ayat”. Jadi jagat raya adalah alamat atau ayat Tuhan. Karena itu alam adalah sumber ilmu manusia, maka manusia diperintahkan untuk memperhatikan alam dan gejala-gejala alam yang ada. Alam raya dan gejala-gejala yang ada di dalamnya adalah ayat-ayat Tuhan.
Nurcholis Madjid (1009) berpendapat, “Pertanda”, “alamat”, atau “ayat”, dari Allah itu adalah untuk kaum yang berpikir. Semesta alam sebagai pertanda Tuhan, tidak akan dimengerti kecuali oleh orang-orang yang berpikir.
“Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum berpikir” (Ar-rad : 3).
Hebat bukan? orang-orang berpikir (berlogika) bisa menundukkan langit dan bumi.
Coba Anda belajar sejarah deh, kesadaran untuk berpikir tentang ayat-ayat Tuhan mengalami penurunan sejak abad ke-12. Orang-orang yang mengaku beriman menarik diri dari kewajiban berpikir. Memang, semua itu dilakukan dalam rangka kehati-hatian untuk menjaga kemurnian ajaran agama dari pemikiran-pemikiran manusia. Tetapi begitu banyak ayat-ayat Tuhan dan begitu jelas memerintahkan kepada manusia untuk berpikir.
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir” (Al Hasyr:21).
Perintah Tuhan untuk berpikir tidak dikhususkan untuk kelompok dan individu tertentu. Tuhan memerintahkannya kepada seluruh Alam (termasuk manusia). Tuhan banyak memberikan perumpamaan yang indah dan jelas, apa akibat bagi orang-orang yang tidak mau berpikir. Tuhan mendudukkan orang-orang yang tidak berpikir dengan kedudukan yang rendah, sama dengan binatang bahkan lebih rendah dari binatang.
Terpuruknya orang-orang beriman ke dalam jurang kebodohan dan kemiskinan adalah dampak dari hilangnya budaya berpikir. Jika dipahami dan diamati, posisi orang beriman kurang dihargai dan dicurigai sebagai orang yang tidak toleran, dan penyebar teror. Sungguh tidak masuk akal jika Tuhan meridhai orang beriman menjadi umat yang tidak berkualitas dan dilecehkan. Padahal Tuhan menjelaskan orang beriman adalah umat-umat unggul dan terpilih. Tentulah bukan pada ayat-ayat Tuhan yang salah, tetapi ada pada orang-orang beriman itu sendiri.
Untuk itulah saya sadar betapa pentingnya untuk membiasakan budaya berpikir, agar bisa memahami, menyadari bahwa Tuhan itu benar-benar ada dan bisa dibuktikan keberadaannya melalui hal-hal kecil sampai besar, dari hal-hal biasa sampai yang luar biasa. Logika Tuhan harus dirasakan hadir dan terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Seandainya Tuhan memiliki ketentuan, “akan membalas setiap perbuatan jahat setimpal dengan kejahatan”, maka manusia harus merasakan kehadiran logika ini di dunia. Kesadaran terhadap berlakunya logika Tuhan tidak akan tercapai jika kita tidak berpikir. Maka berpikirlah bahwa Tuhan itu ada, jika kita tidak berpikir jangan-jangan kita telah menganggap Tuhan tidak ada.
Begitu pentingnya berpikir, dari penelitian saudara TH. H. Muhammad (1983) di dalam ayat-ayat Al-Qur’an terdapat, 80 ayat mengandung kata ilmu, 63 ayat mengandung ajakan berpikir, 45 ayat mengajak untuk melakukan penalaran (mengamati, memikirkan, menyelidiki dengan seksama), dan 24 ayat memberikan lampu merah terhadap kebodohan.
Berdasarkan informasi di atas, Tuhan sangat menganjurkan kita menjadi manusia cerdas dan berilmu agar bisa meningkatkan keimanan. Dengan informasi di atas, sudah jelaskan kalau tidak mau mikir atau berlogika sama dengan berdosa. Berpikir atau berlogika adalah perintah Tuhan.
Selanjutnya jika kita perhatikan, Al-Qur’an mengandung 63 ayat berpikir, kemudian dihubungkan dengan usia Nabi Muhammad SAW yang wafat pada usia 63 tahun, maka dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh hidup Nabi Muhammad SAW diabdikan untuk berpikir, dan inilah hakikat hidup manusia jika ingin berkualitas sekelas Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW adalah jagonya logika Tuhan. Baca saja hadis-hadisanya banyak mengandung logika Tuhan.
Takdir Tuhan tersebar seluas jagat raya, baik yang sudah kita ketahui maupun yang belum kita ketahui. Takdir-takdir yang sudah diketahui menjadi konsep yang kita pahami. Tugas manusia lah untuk menemukan takdir-takdir Tuhan baru, agar menemukan konsep-konsep baru yang lebih banyak lagi. Disinilah letak mengapa berpikir menjadi suatu kegiatan penting yang harus dilakukan untuk memahami kehidupan. Oleh karena itu berakal saja tidak cukup, jika tidak dibarengi dengan aktivitas berpikir.
Kegiatan mendasar yang harus dipahami dalam berpikir adalah menghubungkan. Melalui kegiatna menghubung-hubungkan, kita dapat menemukan berbagai makna kehidupan. Bahkan melalui proses menghubung-hubungkan kita akan menemukan logika-logika kehidupan yang berlaku pasti, dan mampu menemukan siapa Penciptanya.
Untuk itu, Prof. Komarudin Hidayat dan Fahmi Basya (2005) dalam bukunya Matematika Islam berpendapat “orang cerdas dan kreatif adalah mereka yang memiliki simpanan informasi (nama-nama) sebanyak mungkin, lalu dihubungkan dengan nama lainnya sehingga melahirkan produk baru.
Dengan demikian sesungguhnya tidak ada sesuatu yang baru, melainkan hasil menghubungkan”.
Proses menghubung-hubungkan nama-nama yang ada dalam otak disebut dengan berpikir. Proses menghubung-hubungkan semacam ini sesuai dengan isi Al-Qur’an yang sling berhubungan, atau kinerja saraf dan sel-sel otak yang jumlahnya milyaran saling berhubungan. Oleh karena itu, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kepada manusia untuk berpikir dalam arti menghubung-hubungkan. Berlogikalah...! Think!
Salam sukses dengan logika Tuhan! Follow me @ logika Tuhan.
No comments:
Post a Comment