Saya tersadar
untuk berbagi dengan kawan-kawan semua, setelah mendengar seorang ibu menangis
terisak-isak, menangisi nasib anak perempuannya yang sudah sekian puluh tahun
menikah ternyata harus berakhir dengan perceraian. Si ibu berkata, “jika saya
yang disakiti, saya bisa bertahan, tetapi kalau anak yang disakiti, nelangsa
rasanya hati ini”.
Lalu apa
gerangan yang membuat pernikahan anak perempuan ibu itu kandas setelah 10 tahun
bertahan? Diceritakan bahwa selama membina rumah tangga, anak perempuannya tidak
pernah rukun dengan ibu mertua. Tidak disadari kondisi ini membuat suami duduk
dalam persimpangan jalan (galau). Akhirnya cerai adalah cara suami untuk
mengakhiri kegalauannya, dan lebih memilih kembali kepada pangkuan ibu yang
telah melahirkan dan menyusuinya.
Mari kita
belajar dari kejadian ini, dan kita doakan semoga kawan-kawan yang sedang
mengalami masalah ini diberikan hidayah oleh Allah swt untuk menyelesaikannya
dengan damai dan sejahtera. Bismillah... kita analisa di mana sebab utama
kegagalan rumah tangga anak perempuan ibu itu.
Rahasia sukses
dalam membina keluarga bahagia dan sejahtera adalah menjaga silaturahmi antara
menantu dengan mertua. Hubungan tidak harmonis antara menantu (istri) dan
mertua (ibu), bukan kali pertama dan bukan hanya terjadi di masyarakat kita.
Hal ini terjadi di masyarakat dunia, dan di negara-negara maju sekalipun.
Dosen saya
waktu kuliah pernah cerita. Di masyarakat Barat, dalam sebuah iklan piring sosok
mertua (ibu) digambarkan sebagai sosok yang menakutkan. Ketika sang menantu
(istri) sedang mencuci piring, tiba-tiba mertua (ibu) datang. Sang menantu
(istri) kaget, sampai piringnya terjatuh ke lantai tetapi piring itu tidak
pecah.
Yang ingin
disampaikan dalam iklan itu bukan mertuanya yang menakutkan tapi iklan produk
piring anti pecah. Namun dari iklan itu, kita bisa membaca fenomena hubungan
kurang harmonis antara menantu (istri) dengan mertua (ibu) merupakan gejala
umum. Kasarnya kalau dianalogikan persis seperti film kartun Tom and Jerry.
Lalu bagaimana
agar hubungan menantu (istri) dan mertua (ibu) harmonis. Mari kita kembali
kepada ketentuan Tuhan. Sekuat apapun perkawinan dipertahankan, jika tanpa
ketaatan pada ketentuan Tuhan, semuanya akan berakhir berantakan, seperti yang
dialami anak perempuan ibu di atas.
Ketentuan
pertama yang paling mendasar dan tidak boleh tidak, harus ditaati adalah
ketaatan seorang anak kepada perintah Tuhan yaitu supaya berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya.
“Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya...”. (Al Israa:23)
Selama kita
hidup, kewajiban sebagai anak kepada orang tua tidak akan bisa dibatalkan, kecuali
kita dilahirkan dari batu. Kewajiban anak berbuat baik pada orang tua, sudah
jadi sunatullah (ketentuan Allah) yang tidak akan pernah bisa diubah.
Sekarang
bagaimana jika kita sudah berkeluarga? Apakah kewajiban berbakti kepada orang
tua masih berlaku? Tentu masih. Namun dalam sebuah keluarga terjadi lagi
hirarki, sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Tuhan.
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”,...
(An Nisaa:34)
Seorang
perempuan (istri) sudah ditentukan berkewajiban untuk taat kepada suami yang
dijadikan Allah sebagai pemimpin dalam keluarga. Dalam kehidupan keluarga, ketaatan
istri harus sudah seperti tidak terpisahkan lagi dengan suami. Dalam keluarga,
suami dan istri bukan lagi dua individu, melainkan satu kesatuan (manunggaling).
Ketentuan manunggaling istri dan suami dijelaskan dalam keterangan berikut:
“...mereka itu
(istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun (suami) adalah pakaian bagi
mereka...” (Al Baqarah:187)
Dengan
demikian dalam kehidupan keluarga, kewajiban berbakti kepada orang tua
sepenuhnya menjadi tanggung jawab suami, sebab kekuasaan tertinggi dalam rumah
tangga ada pada suami. Untuk itulah para ulama mewajibkan setiap laki-laki yang
sudah menikah untuk menafkahi kedua orang tuanya.
Lalu bagaimana
dengan orang tua dari istri? Siapa yang bertugas memeliharanya jika istri dalam
rumah tangga sudah diikat harus taat pada suami. Tugas memelihara orang tua
istri, sama-sama ada di pundak sang suami. Dalam rumah tangga, posisi suami
bukan lagi anak dari ibu bapak kandungnya, melainkan juga anak dari ibu bapak
istrinya, karena telah manunggalingnya istri dan suami.
Kedudukan
suami sebagai anak dari orang tua istrinya dan sebaliknya dijelaskan dalam sebuah keterangan “Ibu
mertua kedudukannya sebagai ibu”. (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Jadi, seorang
suami harus menjadi pemimpin dalam keluarga, untuk mengajak seluruh anggota
keluarga untuk hormat dan berbakti kepada orang tua, baik kepada orang tua kandungnya
maupun pada orang tua dari istri.
Untuk itu
seorang istri wajib tunduk pada ketetapan suami, bukan karena takut pada suami
tapi karena ketetapan yang ditentukan suami adalah bagian dari ketentuan Tuhan.
Untuk itulah ketaatan istri bukan ketaatan pada suami semata, tapi hakikatnya ketaatan
karena suami menegakkan ketentuan Tuhan.
Maka, jika
seorang istri kurang harmonis dengan ibu atau bapak dari suami, atau sebaliknya
suami kurang harmonis dengan ibu atau bapak dari istri, sampai kapan pun
cita-cita membina keluarga harmonis dan sejahtera akan sulit terwujud. Apa
sebab? Karena keluarga tersebut dibentuk diluar atau bertentangan dengan
ketentuan Tuhan.
Jadi, rahasia
sukses membina keluarga sejahtera utamanya adalah suami dan istri harus
memahami posisi masing-masing berdasarkan pada ketentuan Tuhan. Keharmonisan
dan kesejahteraan dalam membina keluarga sangat tergantung pada ketaatan kita terhadap
Tuhan. Berpikirlah wahai para suami dan istri. Hidup ini bukan hawa nafsu mu
yang mengatur, tapi berdasar ketentuan Tuhan. Salam sukses dengan logika Tuhan.
Follow me
@logika_Tuhan.
No comments:
Post a Comment